Bulan Ramadhan merupakan moment yang paling strategis bagi umat Islam untuk memperbaiki juga sebagai bahan introspeksi diri setelah melihat berbagai kekurangan-kekurangan yang telah dialami di masa lalu. Selama ini kerap timbul kesan bagi sebagian umat Islam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan istirahat dan bulan berleha-leha menunggu kumandang adzan Maghrib.
Pemahaman
seperti ini timbul dari salah baca terhadap makna Ramadhan yang
sebenarnya. Secara etimologi, Ramadhan berasal dari akar kata “ramadl”
yang berarti “membakar”. Artinya, Ramadhan adalah momentum umat Islam
untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan bulan lain, sehingga
usaha dan semangat beribadah pun mesti lebih masif dilakukan. Konon,
para sahabat mempersiapkan penyambutan Ramadhan selama enam bulan. Enam
bulan setelahnya, mereka khusyuk meminta kepada Allah SWT agar ibadah
shaum-nya diterima.
Ramadhan adalah bulan suci yang penuh
makna, sarat nilai, multi-hikmah dan bermega-pahala. Selain menyehatkan
raga dan menenangkan jiwa, berpuasa juga mengajarkan hidup toleran,
sederhana, dan bahkan produktif. Tidak hanya itu, Ramadhan turut
meletakkan landasan pembangunan ekonomi umat.
Setiap
kali Ramadhan datang, kita selalu menaruh harapan besar pada bulan suci
itu. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai
qur’ani. Tidaklah mengherankan jika tema-tema dakwah Ramadhan selalu
mengarah kepada perubahan. Seolah-olah Ramadhan akan merubah segalanya.
Kehidupan Politik yang nir etika berubah menjadi kehidupan politik yang
berbingkai moral dan berpayung kesantunan. Akhlak yang kerap kali absen
dalam kehidupan sosial budaya berubah menjadi kehidupan yang
berkeadaban. Demikian pula kehidupan ekonomi kita yang sangat
kapitalistik dan abai terhadap dhuafa dan mustadh’afin, berubah menjadi
kehidupan ekonomi yang menjunjung nilai-nilai syariah.
Berkah Ekonomi Islam
Yang
sangat menarik, karunia di tengah Ramadhan tidak hanya hal-hal yang
berdimensi ukhrawi, tapi aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar
terutama dimensi ekonomi. Fakta menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih
pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadhan. Tak sedikit di
antara umat manusia yang berpuasa ataupun tidak, dari barisan Muslim
ataupun umat lainnya merasakan manfaat besar dari kehadiran Ramadhan
yang tersirkulasi atau terdistribusi secara menyeluruh, mulai dari
wilayah perkotaan hingga pedesaan.
Tak
dapat disangkal, roda ekonomi benar-benar tampak hidup selama bulan suci
ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian umat manusia
mengharapkan seluruh bulan (sepanjang tahun) menjadi Ramadhan, meski hal
ini tidaklah mungkin. Keinginan ini sebagai implikasi positif atas
tingkat pendapatan yang menaik tajam dan hal ini berbeda bila
diperbandingkan bulan-bulan lainnya.
Apa
hubungannya dengan ekonomi Islam? Menurut Ali Sakti pegiat ekonomi
Islam BI (Bank Indonesia) menuturkan Ramadhan adalah bulan ekonomi
Islam. Pertama, Ramadhan adalah bulan di mana manusia bisa jernih
berfikir dan bertindak sehingga dakwah-dakwah tentang manusia yang
bersahaja dalam bingkai ekonomi Islam sangat dekat dengan perilaku
manusia-manusia Ramadhan. Kedua, Ramadhan menjadi bulan di mana manusia
bersemangat menjalankan perintah-perintah Tuhan tanpa banyak bertanya
alasan di baliknya. Ketiga, pada Ramadhan manusia tidak atau mungkin
kurang mengedepankan hitungan-hitungan cost-benefit material. Pada bulan
ini manusia mengedepankan hitungan cost-benefit spiritual, sebagai
kompensasi dari kerakusan pada bulan di luar Ramadhan atau memang sebuah
kesadaran yang tulus. Kita perhatikan, perilaku sedekah, infak dan
zakat meningkat cukup dramatis di bulan ini.
Di
sinilah, bulan Ramadhan menjadi momentum lahirnya semangat dan
kesadaran umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonomi sesuai ajaran
agamanya: menanggalkan riba (bunga), menjauhi gharar, maysir, tadlis,
ihtikar dan lain sebagainya. Sebab, implikasi puasa tidak saja
berdimensi ibadah spiritual an-sich, tetapi juga mengajarkan akhlak
horizontal (mu’amalah), khususnya dalam bidang bisnis. Sungguh aneh
apabila ada orang berpuasa dengan khusyuk, tetapi melanggar
ajaran-ajaran Allah dalam mu’amalah, seperti masih mempraktekkan riba
yang diharamkan atau melakukan penipuan harga yang tidak pantas.
Implementasi
aktivitas ekonomi Islam ini diharapkan dapat memperkuat sendi
perekonomian umat yang puncaknya akan melahirkan social distributive
justice (keadilan distribusi sosial). Harta tidak hanya berputar pada
segelintir orang dengan mengoptimalkan konsep zakat, infak, shadaqah dan
wakaf.
Spirit Kebangkitan Ekonomi Islam
Dalam
konteks historis, bulan Ramadhan merupakan momentum penting dan
monumental dalam kebangkitan dan kejayaan Islam. Telah banyak perubahan
besar dalam sejarah dakwah Islam yang terjadi pada bulan ini. Ramadhan
juga telah mengantarkan Islam tersebar ke semenanjung Afrika dan Eropa.
Sementara dalam konteks ibadah, Ramadhan adalah bulan semangat dan
motivasi untuk memperbaiki diri dengan sederet ketaatan. Saatnya
generasi berikutnya menapaktilasi dan mengukir kembali
kemenangan-kemenangan itu, merebut kembali peradaban Islam yang
terampas. Maka, meraih peradaban mesti dilakukan dengan memperkuat aspek
ekonomi itu. Kebangkitan Islam hanya akan terejawantah dalam wujudnya
yang ideal ketika ekonomi Islam dapat membumi dan menjadi landasan
aktivitas perekonomian umatnya.
Pesan
implisit Ramadhan patut dijadikan masukan dalam membangun perekonomian
umat dan bangsa ke depan. Pembangunan harus dimulai dengan membangun
nilai nilai ekonomi Islam dalam kehidupan. Pemberdayaan sumber daya
rakyat berdasarkan nilai-nilai Qurani harus diprioritaskan.
Gagasan
negara sejahtera dapat terwujud, apabila pembangunan fisik dan
spiritual (ketaqwaan) harus berjalan seimbang. Inilah model pembangunan
ekonomi yang ideal. Selain faktor-faktor produksi, tingkat ketaqwaan
juga merupakan “driving force” pembangunan ekonomi umat. Menurut Ramzan
Akhtar (1993) dalam artikelnya “Modelling the economic growth of an
Islamic economy” yang dipublikasikan di “The American Journal of Islamic
Social Science (AJISS)” menyebutkan bahwa tanpa adanya rahmat Ilahi,
maka pembangunan ekonomi sangatlah mustahil terjadi. Negara yang dihuni
warga muttaqin pasti akan mendatangkan rahmat Ilahi sehingga terwujudlah
negara sejahtera. Wallahualam.